Ditulis oleh Mujtahid
FENOMENA pendidikan,
hingga kapan pun akan tetap menjadi topik pembicaraan yang menarik.
Menarik, karena pendidikan merupakan proses budaya yang secara terus
menerus selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ruang dan
waktu. Salah satu perubahan itu adalah terjadinya pergeseran peran
otoritas sistem pendidikan yang semula sentralistis menjadi
desentralistis.
Konsekuensi
dari perubahan tersebut tentu saja berdampak pada aspek pendidikan.
Gagasan dan semangat otonomi pendidikan misalnya, merupakan ruang baru
yang menjadi wadah untuk menampung pelbagai aspek nilai positif di
masyarakat atau daerah, yang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan
kehidupan masyarakat.
Dengan
format otonomi daerah, memberikan ruang khas bagi pendidikan untuk
menanamkan nilai-nilai budaya menjadi bagian dari aspek edukatif.
Strategi dan pendekatan pembelajaran akan memiliki makna dan nilai yang
hidup, manakala proses edukatif itu berakar pada nilai-nilai budaya.
Dulu, seperti yang digagas oleh faounding fathers kita,
bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana untuk melihat ragam budaya
nasional. Namun, prakteknya kadang keblabasan hingga kadang-kadang
budayanya sendiri terlupakan. Nah, dengan era otonomi pendidikan ini,
selain sebagaimana yang diharapkan faounding fathers, adalah untuk mewujudkan kembali cita-cita dan harapan bangsa menjadi masyarakat yang berbudaya.
Jika
nilai-nilai budaya hilang dari proses pendidikan, maka dampaknya akan
bisa kita rasakan pada generasi mendatang. Yakni suatu generasi yang
tidak memahami karakter budaya, yang cenderung menyeret kepada perbuatan
negatif. Perbuatan negatif tidak saja bagi siswa, tetapi juga guru.
Sudah terlalu kenyang kita mendengar tindak kekerasan, premanisme, white caller crime (kejahatan
kerah putih), konsumsi minuman keras, aetika berlalu lintas, pencabulan
siswa, kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi telah
mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa lainnya.
Kegagalan
pendidikan semacam ini antara lain disebabkan oleh praktek pendidikan
yang jauh dari praksis budaya. Sebab, selama ini, aspek kognitif tidak
mampu mendorong kesadaran tingkah laku, membimbing perasaan dan kesiapan
mental dalam menghadapi perubahan era global.
Seuatu
kesenjangan terlihat secara transparan bahwa pengetahuan dan cita-cita
ideal dalam pendidikan tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dalam
praksis kesehariannya. Kesenjangan antara gnosis dan praxis yang
dalam kehidupan tidak menunjukkan kepribadian seorang siswa. Padahal,
pendidikan adalah investasi nilai-nilai kepribadian menuju kesempurnaan
sifat dan kemampuan manusia.
Pendidikan tidak mungkin terlepas dari budaya karena kebudayaan memberi rambu-rambu dan memberikan reward punishment dalam
perkembangan pribadi. Pendidikan tidak terjadi di dalam ruang kosong
atau di luar masyarakat. Sebagaimana setiap masyarakat memiliki budaya
maka praksis pendidikan tidak terlepas dari kebudayaannya.
Jika
kita cermati secara mendalam, hakikat pendidikan dan budaya menampakkan
hubungan sangat jelas sekali bahwa keduanya terdapat keterkaitan yang
erat, bahkan terintegrasi secara praksis pendidikan dan praksis
kebudayaan. Pendidikan dapat dirumuskan sebagai suatu proses hominisasi dan proses humanisasi yang berlangsung di dalam lingkungan keluarga serta masyarakat yang berbudaya.
Desentralisasi
pendidikan seperti yang saat ini sedang berjalan, berarti proses untuk
membuka seluas-luasnya terhadap nilai budaya di masing-masing masyarakat
pada suatu daerah. Nilai budaya yang bisa dikaitkan dengan proses
pendidikan misalnya nilai moral dan agama, nilai estetika, nilai
emosional, nilai ketrampilan nilai luhur yang telah hidup berabad-abad
di dalam suatu masyarakat.
Karena
itu, upaya secara praksis pendidikan haruslah mengembangkan seluruh
nilai-nilai kebudayaan tersebut. Apabila tidak demikian, maka kebudayaan
itu mati, atau pendidikan hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang
pintar atau cerdas tetapi tidak berbudaya. Hal inilah yang menjadi
tujuan utama terpeliharanya suatu kebudayaan kita dalam masyarakat itu.
Seperti yang sering didengung-dengungkan bahwa tujuan pendidikan adalah educated and civilized human being. Manusia macam itu hanya dapat dihasilkan oleh suatu sistem pendidikan yang berakar dalam kebudayaan.
Perlu
disadari bahwa salah satu tugas penting untuk mengembangkan nilai-nilai
budaya tersebut bukanlah tugas ringan, atau tanpa masalah. Justru
pengembangan budaya seperti ini merupakan tantangan tersendiri yang
acapkali menjadi beban akademis. Tidak heran jika akhir-akhir ini banyak
kritikan kepada sekolah maupun perguruan tinggi yang kurang memiliki
kepekaan terhadap nilai budaya.
Sifat
dan watak budaya harus menjadi perhatian utama dalam proses praksis
pendidikan. Betapa kompleknya persoalan yang masih dihadapi oleh
pendidikan maka selain target akademis yang bersifat vokasional
atau mencetak tenaga kerja, juga harus diimbangi dengan mencetak
lulusan yang memiliki watak yang berbudaya. Dengan sifat dan watak
demikian, tentu akan memberi peluang bagi mereka untuk menyesuaikan
dengan kondisi dan siklus kehidupan mereka masing-masing dengan segala
latar belakang yang ada.
Otonomi daerah memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi pengembangan kebudayaan daerah dan nasional. Kedua-duanya merupakan conditio sine qua non bagi
kelangsungan hidup bangsa indonesia dengan keanekaragaman budaya dan
merasa bersatu sebagai bangsa indosesia. Dalam hal ini diperlukan
koordinasi dan kerja sama antar daerah supaya kedua jenis kebudayaan ini
tetap merupakan kekayaan yang tidak ternilai dari bangsa indonesia di
dalam menghadapi gelombang globalisasi dan kebudayaan globalnya. Suatu
daerah yang dilanda dengan budaya global akan kehilangan identitasnya
apabila daerah itu tidak menghargai dan tidak mengembangkan
kebudayaanya.
Dengan
otonomi daerah seperti sekarang ini sangat mungkin untuk kembali
melihat nilai budaya kita. Secara fungsional, otonomi menuntut perubahan
sikap dari para pelakunya, serta kemampuan kelembagaan agar pelaksanaan
otonomi pendidikan dapat berjalan secara tepat. Strategi untuk
mewujudkan impian ini, maka para konseptor dan praktisi harus berupaya
keras untuk membangun mutu pendidikan dengan melibatkan berbagai unsur
dan kalangan.
Instansi
pendidikan harus menjalin erat dengan semua lapisan masyarakat. Karena
sistem pendidikan yang benar adalah pendidikan yang hidup dari dan untuk
masyarakat. Pendidikan yang berdasarkan masyarakat (community-based education) merupakan bentuk pendidikan yang seharusnya.
Sehingga
era otonomi pendidikan dapat dimaknai sebagai perubahan dari suatu
wawasan yang sentralistik, birokratis yang kaku menjadi wawasan
kemitraan antara masyarakat dengan lembaga-lembaga pendidikannya.
Bahkan, kemitraan itu harus dijalin antar jenjang pendidikan, mulai dari
Tingkat Dasar hingga Perguruan Tinggi.
Dalam
otonomi seperti ini, instansi pendidikan daerah memiliki wewenang
fungsi dan untuk menangani masalah pendidikan dan kebudayaan di daerah
yang dikelola secara profesional dan lebih bermakna bagi masyarakat
setempat, baik lembaga pendidikan negeri maupun swasta mendapatkan
perhatian yang sama untuk peningkatan kemampuan (capacity building) untuk lebih berfungsi demi kebutuhan daerah.
Antara instansi pendidikan daerah dengan masyarakat di dalam penyelnggaraan pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan akuntabilitas horizontal, artinya masyarakat dan instansi pendidikan, keduanya bertanggungjawab terhadap: “the stake holder” (masyarakat) yang memiliki pendidikannya.
Dengan
demikian, pelaksanaan otonomi pendidikan ini akan terasa memiliki nuasa
yang khas dalam menciptakan kualitas pembelajaran. Lebih cocok lagi,
untuk menyambut implementasi kurikulum nasional yang berbasis kompetensi
dan karakter, yang menurut hemat penulis, pendekatan pembelajaran harus
mengarah pada multi-kompetensi, baik menyakut kompetensi kognitif,
afektif maupun psikomotorik.
*) Mujtahid adalah Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
sumber : http://www.uin-malang.ac.id
-*(berjuang demi cita dan cinta)*-
0 comments:
Post a Comment